EUTHANISIA DAN BUNUH DIRI
PENDAHULUAN
BAB I
A.
Latar Belakang
Setiap makhluk
hidup termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang yang imulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan, didunia dengan berbagai permasalahannya
sertab di akhiri dengan kematian.. manusia makhluk yang sempurna
dibandingkanmakhluk-makhluk lainnya yang yang pernah diciptakan Allah.
Kesempurnaan manusia karena dengan dikaruniai akal sehat agar senantiasa
berfikir yang baik untuk dirinya, jangan sampai ia cenderung melakukan yang
merugikan dan dilarang dalam agama, Islam adalah agama yang hak, ia mengatur
segala macam persoalan kehidupan manusia dengan berbagai konsep hukum dan nilai
sosial. Oleh karena itu pemakalah akan membahas mengenai euthanesia dan bunuh
diri.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
Euthanasia dan bunuh diri?
2.
Bagaimana
analisis sebab dan hukum melakukan euthanasia dan bunuh diri?
3.
Bagaimana
pandangan Islam tentang euthanasia dan bunuh diri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Euthanasia dan Bunuh diri
Euthanasia berasal dari bahasa yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu
EU (baik) dan Thonetos (Mati) yang
berarti mati sentosa. Hal membuat mati dengan tidak menderita atau supaya jangan menderita lagi. Euthanasia
diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan terhadap pasien yang tipis
harapannya untuk sem buh kembali. Dalam ensiklopedia nasional indonesia, Euthanasia biasanya dilakukan terhadap
penderita penyakit yang sebenarnya sudah tidak mempunyai harapan sembuh, namun
sering kali penderita itu mmasih bertahan hidup.[1]
Menurut kamus kesehatan, Euthanasia adalah :
1.
Mencabut nyawa untuk menghilangkan penderita.
2.
Mengakhiri dengan sengaja kehidupan sesseorang dengan cara kematian yang
tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan.
Euthanasia juga didefinisakn sebagai “A Good Death” atau mati dengan
tenang. Yang mana hal ini dapat terjadi atas permintaan pasien atau keluarganya
karena pendertitaan yang sangat hebat dan tiada
akhir ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter
kepada pasien yang sedang sakit tanpa memberikan pertolongan.
Di dalam kode etik kedokteran indonesia,
Euthanasia mengandung tiga arti yaitu :
1. Berpindahnha ke alam baka yang tenang dan
aman tanpa penderitaan
2. Saat hidup akan berakhir (Sakarotul Maut)
penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakbiri penderitaan dan hidup seorang
yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.[2]
Sementara dalam bahasa
arab euthanasia disebut dengan Qotl ar-Rohmah atau Taysir Al-maut. Yaitu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit,
karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit baik dengan
vara positif maupun negatif. Adapun yang disebut dengan Taisir al-maut al-af’al
(euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih
sayang yang dilakukan oleh dokter dengan menggunakan instrumen (alat) .
contohnya :
1.
Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian memberinya obay dengan takaran
tinggi yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
2.
Oramg yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misal karena bagian
otaknya terserang penyakit atau benturan yang sangat keras. Dalam keadaan
demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan menggunakan alat pernapasan,
sedangakn dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak dapat sembuh.
Faktor penyebab melakukan euthanasia
menurut F. tengker adalah :
1.
Pada bayi yang baru lahir atau dalam kandungan yang dirundunh cacat
fisik berat
2.
Mereka yang lumpuh total akibat kecelakaan
3.
Adanya pertimbangan dan pemikiran bahwa kematian sudah berada diambang
pintu dan kehidupan telah diakhiri.[3]
Sedangkan bunuh diri secara (bahasa Inggris:
suicide, berasal dari kata Latin suicidium, dari suicaedere,(
"membunuh diri sendiri") adalah sebuah tindakan sengaja yang
menyebabkan kematian diri sendiri. Bunuh diri seringkali dilakukan akibat putus
asa, yang penyebabnya seringkali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya
depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol/alkoholisme,
atau penyalahgunaan obat.
Dalam bahasa arab, bunuh diri disebut intihaar
yang berasal dari kata kerja nahara
yang berati menyembelih (dzabaha) dan membunuh (qatala) intaharacasy-syakhshu
artinya seseorang menyembelih dan membunuh irinya sendiri.[4]
B.
Analisis Sebab
Dan Hukum Melakukan Euthanasia Dan Bunuh Diri
Dalam hal ini
Euthanesia aktif hukumnya yaitu haram menurut syari’at Islam, karena dokter
secara sengaja melakukan tindakan aktif dengan memberikan obat overdosis yang
pada hakikatnya merupakan racun yang sangat berat dan mempunyai efek mematikan
bagi pasien. Hal ini dapat dikategorikan pembunuhan secara sengaja. Meskipun
dokter melakukan atas dasar rasa kasihan terhadap pasien. Seperti firman Allah QS.An-Nisa’
ayat 29:
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya:
Dan janganlah kamu membunuh irimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepaamu.
Sedangkan
euthanesia pasif, memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua
berkisar pada menghentikan pengobatan tau tidak memberikan pengobatan. Dalam
kasus ini dokter suah tidak mampu lagi
memberikan pertolongan medis. Islam sangat memperhtikan keselamatan dan
kehidupan manusia. Karena itulah Islam melarang seseorang melakukan bunuh diri.
Sebab, pada hakikatnya jiwa yang bersemayam pada jasanya bukanlah milik sendiri.
Sebaliknya jiwa merupakan titipan Allah SWT yang harus dipelihara dan digunakan
secara benar. Maka dari itu, dia tidak boleh membunuh dirinya sendiri.[5]
Penyebab
utama terjadinya bunuh diri dimasyarakat adalah karena kurang iman dan kurang
percaya pada diri seniri. Karena itu untuk menangkalnya harus diintensifkan
pendidikan agama sejak masa kanak-kanak dan ditingkatkan dakwah Islamiyah
kepada seluruh lapisan masyarakat Islam guna penigkatan iman, ibadah dan
tawakalnya kepada Allah.[6]
C.
Pandangan
Islam Tentang Euthanasia Dan Bunuh Diri
1. Pandangan islam tentang Euthanasia
Telah disepakati oleh para ulama’ bahwa suatu
perbuatan barulah digolongkan
sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang dengan tegas dilarang oleh syara’.
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a.
Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan
ancaman hukuman terhadapya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
b.
Tindakan yang membentuk suatu jarimah, baik
perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material
(rukun maddi)
c.
Pelaku yang mukalaf, yaitu orang yang dimintai
pertanggungjawaban terhadap jaarimahyang dilakukannya. Ini disebut unsur moral
(rukun abadi).
Apakah euthanasia dapat dikatakan sebagai jarimah,
atau tidak. Artinya, apakah islam membenarkan tindakan euthanasia untuk
mengharamkannya. Untuk menjawab persoalan ini, terlebih dulu harus diketahui,
apakah perbuatan ini memenuhi unsur-unsur jarimah seperti di atas.
Dari segi nash, islam secara tegas melarang
pembunuhan. Tetapi apakah euthanasia itu dengan begitu saja digolongkan sebagai
pembunuhan? Sedangkan aspek tindakan sebagi unsur kedua sudah jelas ada, karena
biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui
suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurathesnia).
Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dkter, pasien, dan keluarga
pasien.[7]
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari
perimbangan-pertimbangan berikut :
a.
Dari pihak
pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak aman tahan lagi
menderita sakit. Oleh karena itu penyakit yang dideritanya terlalu gawat
(accut), dan telah lama dialami, maka ia
meminta dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain bias juga Karen
pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi
keluarga., akibat biaya pengobatan yang terlalu mahal. Atau pasien sudah tahu
kalau ajal nya sudah di ambang pintu, paling tidak harapan untuk sembuh terlalu
jauh, maka suoaya matinya tidak merasa sakit, dia memilih jalan yang lebih
nayaman yaitu euthanasia.
b.
Dari pihak keluarga atau wali, yang merasa kasihan
atas penderitaan pasien.apabila dilihat pasien tidaka tahan dalam menanggung
sakitnya, baik karena sudah terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis
penyakit yang menyerangnya. Bias juga euthanasia terjadi karena permintaan
keluarga yang tidak sanggup lagi memikul biaya pengobatan, sementara harapan
untuk sembuh sudah tidak ada lagi.
c.
Kemungkinan lain bias terjadi, bahwa pihak keluarga
(tertentu) bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena
menginginkan harta milik pasien dan factor amoral lainnya. Masalahnya adalah,
sejauh mana dan dalam hal apa saja nyawa seseorang boleh di habisi.
Syeikh
Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah
satu dari tiga sebab:
a.
Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.
b.
Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat
zina, yang diketahui oleh empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).
c.
Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu
sikap menentang jama'ah slam.
Jika
dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya euthanasia seperti
disebutkan teidahulu, maka tidak ada "satu pun yang berkaitan dengan
alasan bilhaq di atas.
Alasan
pertama, bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita yang berkepanjangan,
tidak mgin meninggalkan beban ekonomi, .atau tidak punya harapan sembuh, adalah
suatu reileksi dari kelemahan iman. Sakit adalah satu benuik ujian kesabaran,
sehingga tidaklah tepat‘ ‘ kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri
melalui euthanasia (aktif). Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat
disembuhkan lagi, atau biaya untuk meneruskan pengobatan terlalu mahal, maka
tidaldah salah kalau ia meminta pulang saja dari rumah sakit. Scandainya
diyakinkan bahwa apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, maka
tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti
bunuh diri. Hal ini disebabkan kemampuan ekonomi pasien (keluarga) sudah tidak
memungkinkan lagi. Pemulangan pasien seperti ini sudah sering teijadi. Menurut
dr. Kartono Muhammad, " para dokter diperkenankan melepaskannya karena
prosedurnya sudah ada. Akan tetapi, jika cara euthanasia yang ditempuh oleh
pasien, maka yang bersangkutan akan terkena larangan Allah, yaitu sebagai
tindakan bunuh diri. Bunuh diri berarti mengingkari rahmat Allah.
Syeikh
Muhammad Yusuf al-Qardhawi mangatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak
milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ
tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusi‘a pada hakikatnya adalah barang
titipan yang diberikan Allah, oleh karerianya ia tidak boleh diabaikan‘,
apalagi dilepaskan dari. kehidupannya. Islam menghendaki setiap muslim untuk
selalu optimis, Islam tidak membenarkan dalam situasi apa pun untuk melepaskan
nyawanya hanya ada musibah yang menimpa atau gagal dalam cita-cita Seorang
mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan Setiap
mukmin mempunyai Senjata yang tidak bisa. menceng, dan mempunyai kekayaan. yang
tidak bisa habis, yaitu iman. dan kekayaan budi.
Jadi
jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan
mempercepat kematiannya Bahkan berdo’a meminta dimatikan pun tidak
diperbolehkan.
Sedangkan
pertimbangan kedua, yaitu dari pihak keluarga yang merasa kasihan pada pasien,
atau karena tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan, maka apabila
diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita Inasih terlihat menyimpan
tanda-tanda kehidupan (belum mati batang otaknya), berarti perbuatan itu
tergolong pembunuhan sengaja (jarimah maqshudah atau al-qatl al‘amd). Allah
mengancam pelaku jarimah ini dengan azab neraka, seperti difirmankan-Nya dalam
Surah al-Nisa ayat 93 yang artinya :
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya. dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Pada ayat
di atas tidak dibedakan apakah pembunuhan itu didasarkan atas rasa kasihan,
karena kebangkrutan biaya atau pun alasan lain di luar dari yang haq, semuanya
dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si korban.
Apabila
pembunuhan yang disengaja itu didukung oleh kerelaan si korban, maka yang
demikian menjadi tindakan bunuh diri, dengan meminjam tangan atau melalui
bantuan orang lain. Akan tetapi, apabila euthanasia dilakukan oleh dokter atas
permintaan keluarga tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien, maka inipula
termasuk pembunuhan sengaja.
Masalah
yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena hukuman atau tidak dalam
kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga
sebagai wali al-Dam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini
Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli
fiqih berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh
sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Di antara mereka ada yang berpendapat
bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku. Sedangkan
perintah wali korban tidak menggugurkan qishash tersebut.
Berdasarkan
pendapat di atas, maka seorang dokter yang mengakhiri hidup pasien atas
pennintaannya sendiri bisa gugur qishashnya, apalagi bila permintaan pasien
tersebut didukung oleh persetujuan wali al-Dam. Meskipun Islam memberi hak kepada
wali al-Dam untuk menuntut qishash atau memaafkannya, tetapi isslam juga
memberi hak kepada “penguasa” untuk bertindak menurut apa yang dianggapnya baik
untuk kemaslahatan umat. Apabila dalam pandangan Islam bahwa kemaslahatan umum
menghendaki agar pelakuu itu dihukum, maka Imam dapat melakukan ta’zir dengan
cara menahan,memenjarakan,atau membunuhnya.
Adapun
pertimbangan ketiga, bahwa keluarga atau salah seorang di antara mereka yang
bekerja sama dengan dokter untuk melakukan euthanasia, dengan harapan agar
segera memperoleh harta warisan dan sebagainya, maka tindakan ini jelas sekali
sebagai pembunuhan sengaja. Di dalam KUHP perbuatan dikategorikan sebagai
pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati.
Para tokoh
Islam di Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Prof. Dr. Amir
Syarifuddin menyebutkan bahwa pembunuhan untuk menghilangkan penderitaan si
sakit, sama dengan larangan Allah membunuh anak untuk tujuan menghilangkan
kemiskinan. Tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan dengan sengaja
untuk mengakhiri hidup pasien adalah termasuk pembunuhan disengaja. Ia berarti
mendahului takdir Tuhan, meskipun niatnya adalah untuk melepaskan penderitaan
pasien atau juga melepaskan tanggungan keluarga. Akan tetapi apabila dokter
tidak lagi memberi pasien obat, karena yakin obat yang ada sudah tidak
bisa menolong, atau sekalian mengizinkan si pasien di bawa pulang, andai kata
pasien itu meninggal, maka sikap dokter itu tidaklah termasuk perbuatan
pembunuhan.
K. H.
Syukron Makmun juga berpendapat bahwa kematian itu adalah urusan Allah, manusia
tidak mengetahui kapan kematian itu menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan
tidak kunjung sembuh adalah qudratullah. Kewajiban kita hanya berikhtiar.
Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan
membunuh Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.
Jadi apa
pun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu
tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan
adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli,
baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para Ulama sepakat
membolehkannya.[8]
2. Bunuh diri
Islam sangat memperhatikan
keselamatan dan kehidupan manusia. Karena itulah, islam melarang seseorang
melakukan bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya jiwa yang bersemayam pada jasadnya
bukanlah miliknya sendiri. Sebaliknya, jiwa merupakan titipan Allah SWT yang
harus dipelihara dan digunakan secara benar.
Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa :
“jangan saling membunuh antara sesama muslim”. Sedangkan ‘Amru bin ‘Ash
memahami dengan pengertian : “jangan bunuh diri”. Penafsiran ‘Amru bin ‘Ash ini
pun dibenarkan oleh Rasulullah. Umpamanya, seorang yang sedang sakit parah,
dilarang oleh dokter mandi dengan air dingin. karena secara langsung atau
tidak, akan membawa bahaya dan akibatnya berakhir dengan kematian. Bunuh diri
atau saling membunuh menurut penafsiran Amru bin Ash dan Ibnu Abbas,
kedua-duanya tidak dibenarkan oleh agama islam, walaupun penyebabnya berbeda.
Syariat islam melarang tindakan bunuh
diri sebgaimana melarang pembunuhan. Hukum bunuh diri, menurut kesepakaran
ulama, adalah haram dan tergolong dosa yang paling besar setelah syirik.
Larangan ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan hadits. Allah SWT, berfirman
dalam QS. Al-Israa’ ayat:
33 yang artinya :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh
secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan,
Bunuh diri adalah termasuk
pembunuhan. Barang siapa membunuh dirinya dengan cara apa pun, maka dia telah
membunuh jiwa yang dimuliakan Allah tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Bunuh
diri adalah dosa besar, karena adanya ancaman khusus baginya.sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Abu Hurairah r.a:
Rasulullah SAW. Bersabda
: “Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari gunung dan
membunuh dirinya sendiri, maka di neraka dia akan terjatuh dari gunung
berulang-ulang selamanya. Barangsiapa menghirup racun dan membunuh dirinya
sendiri, maka di neraka racun tersebut berada di tangannya dan dia akan
menghirupnya selamanya. Dan barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri denngan
besi, maka di neraka besi tersebut berada di tangannya dan dia akan memukul
dirinya dengan besi tersebut selamanya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan satu
hadis lagi yang artinya “Barangsiapa mencekik
dirinya sendiri, maka dia akan mencekiknya di neraka. Barangsiapa menikam
dirinya sendiri, maka dia akan menikamnya di neraka. Dan barangsiapa
menceburkan dirinya, maka dia akan menceburkannya di neraka.” (HR. Bukhari)[9]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bunuh diri adalah suatu tindakan
mematikan dari seseorang terhadap dirinya, sedangkan euthanasia adalah tindakan
medis yang dilakukan dokter terhadap pasien yang berpenyakit parah dan
menyengserakan.
Bunuh diri dan euthanasia adalah berbeda
karena bunuh diri dilakukan oleh pribadi seseorang, sedangkan euthanasia orang
lain yang melakukan terhadap seseorang.
Hukum bunuh diri adalah haram karena
syara’ melarangnya, dan euthanasia juga haram bila seorang dokter itu bersifat
aktif dengan memberikan obat yang overdosis terhadap orang sakit dengan maksud
agar mempercepat matinya, namun bila dokter bersifat pasif dengan tidak
mengobati seorang pasien yang sekarat, supaya ia cepat meninggal dunia, maka
ada dua pendapat para imam mazhab ada yang membolehkan da nada yang tidak
membolehkan. Jumhur ulama membolehkan, imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan imam
Hanabila, tidak membolehkan, karena menurut pandangannya berobat adalah wajib
hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-husain, sulaiman. Mengapa harus bunuh diri? . (Jakarta :
qisthi Press, 2005).
Chuzaimah,
anshary hafidz, problematika
hokum islam Kontenporer ( Jakarta: IKAPI, 2002)
Gibtiah, Fiqih Kontenporer (Jakarta:
Kencana, 2016)
Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih
Kontenporer ( Surabaya: El-Kaf, 2006).
Suciani0108.blogspot.co.id/2015/05/makalah-traspalantasi-dan
euthanesia.html (diakses 21 Mei 2018).
[1] Gibtiah, Fiqih Kontenporer (Jakarta:
Kencana, 2016), 126.
[2] Ibid, 127-128.
[3] Ibid, 128-130.
[4] Ibid, 131-32.
[5] Suciani0108.blogspot.co.id/2015/05/makalah-traspalantasi-dan
euthanesia.html (diakses 21 Mei 2018).
[6] Kutbudin Aibak, Kajian Fiqih Kontenporer
( Surabaya: El-Kaf, 2006). 89.
[7] Chuzaimah, anshary hafidz, problematika
hokum islam Kontenporer ( Jakarta: IKAPI, 2002)Hlm, 70.
[8] Ibid, 71-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar