KONSEP POLIGAMI DAN MONOGAMI
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Poligami Dan Monogami
Istilah poligami berasal dari Bahasa Inggris “poligamy”,
dan disebut ta’addudu az-zawjaati dalam hukum Islam, yang berarti
beristri lebih dari seorang wanita. Jadi, poligami adalah seorang pria yang
memiliki istri lebih dari seorang wanita.[1]
Sedangkan monogami dapat dipasangkan dengan poligami
sebagai antonim, monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal yang artinya
seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja. Tujuannya untuk
memberikan landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang
harmonis, sejahtera, dan bahagia. Oleh karena itu, hukum asal perkawinan dalam
Islam adalah monogami. Hukum ini sangatlah beralasan karena dengan monogamy
tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah karena
tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan lebih mudah
untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati, dan perasaan mengeluh
dalam kehidupan istri sehari-hari.[2]
B.
Tujuan
Pernikahan Poligami
Bertolak dari beberapa
peristiwa, kasus, dan kenyataan yang merekomendasikan alasan permakluman
poligami dalam kehidupan masyarakat, maka poligami memiliki tujuan. Secara
lebih khusus dpat diuraikan beberapa tujuan poligami, di antaranya yaitu
sebagai berikut:
1. Memenuhi
kebutuhan hidup yang berkaitan dengan insting dasar seksual.
2. Menjaga
harkat, martabat, dan kehormatan kemanusiaan, dengan cara yang benar, beretika,
dan terbuka (tidak sembunyi-sembunyi) dalam melampiaskan kebutuhan biologis.
3. Memenuhi
harapan pembangunan keluarga yang bahagia melalui estafetisasi generasi.
4. Membantu
meringankan kesulitan hidup perempuan yang terbengkalai rumah tangganya.
5. Membantu
anak-anak yang terlantar akibat ditinggal bapaknya dalam mewujudkan cita-cita
dan harapannya.
6. Menghindarkan
para perempuan dari perbuatan asusila yang sangat riskan terjadi ketika para
perempuan bertanggung jawab sebagai satu-satunya penjaga kesinambungan
kehidupan keluarganya.
Sedangkan tujuan poligami bagi seorang laki-laki secara umum yaitu tidak
hanya sekedar bertujuan terpenuhinya hubungan seksual suami yang secara kodrat
memiliki insensitas seks tinggi, tetapi juga membangun tatanan hidup masyarakat
secara adil, sejahtera, dan bermoral, melalui kepedulian dan perhatian kepada
sebagian kelompok masyarakat yang kesulitan dalam mengurus rumah tangga dan
mengayomi anak-anaknya.[3]
C.
Dampak
Positif Dan Negative Poligami Dan Monogami
1.
Sisi
positif poligami:
a.
Memberi
kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan dari istri kedua, jika istri
yang pertama mandul.
b.
Menghindarkan
laki-laki dari perbuatan zina, jika istrinya tidak bisa dikumpuli karena
terkena suatu penyakit yang berkepanjangan.
c.
Memberi
kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapatkan suami yang bertugas
untuk melindunginya, memberinya nafkah hidup serta melayani kebutuhan
biologisnya.
d.
Dapat
menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan peperangan, agar
tidak merasa kesepian.[4]
2.
Sisi
negatif poligami:
a.
Menjadi
sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan
istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri
beserta anak-anaknya masing-masing.
b.
Terjadinya
ketidak adilan suami terhadap istri-istrinya.[5]
c.
Kebiasaan
berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan
terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus
HIV/AIDS.
d.
Menyakiti
perasaan istri pertama jika dimadu. Karena wanita banyak yang tidak terima jika
harus dipoligami, apalagi kalau suaminya tidak adil.
e.
Keadilan
dalam sebuah poligami jarang tercapai, baik segi ekonomi maupun kasih sayang.
D. Pandangan
Islam tentang Monogami dan Poligami
Sepakat ulama madzhab
menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah
tangga, dibolehkan melakukan poligami sampai 4 istri, berdasarkan pada ayat
al-Quran berikut:[6]
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (Q.S. an-Nisa’ ayat 3)
Ketentuan tentang
poligami diatas diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat ini secara lebih khusus
merujuk pada keadilan yang harus dilakukan terhadap anak-anak yatim. Ayat ini
diturunkan setelah perang Uhud ketika masyarakat muslim dibebankan dengan
banyaknya anak yatim, janda serta tawan perang. Maka perlakuan itu diatur
dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kawinlah anak yatim anak yatim bila
engkau yakin bahwa dengan cara itu engkau dapat melindungi kepentingan dan
hartanya secara adil terhadap mereka. Oleh karena itu para ulama dan fuqaha
muslim telah menetapkan persyaratan berikut bila seseorang ingin menikahi lebih
dari seorang istri, yaitu:
a.
Dia harus
memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan
tbertambahnya istri yang dinikahinya itu.
b.
Dia harus
memperlakukan semua istrinya dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama
dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.[7]
Bila seorang laki-laki merasa bahwa dia tak akan mampu
memperlakukan mereka dengan adil, atau tidak memiliki harta untuk membiayai mereka,
maka ia harus menahan dirinya sendiri dengan menikahi hanya seorang istri atau
monogami.[8]
Islam melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan
oleh orang-orang Jahiliyah Arab maupun bukan Arab. Dulu para pengusaha muslim
menjadi korban nafsu dan melakukan poligami yang tak terbatas. Poligami semacam
itu tidak diperkenankan dalam Islam. Kalau memang perlu, seorang muslim dapat
menikahi sampai 4 orang istri, tidak lebih, pada satu waktu. Menurut Imam
Syafi’i haram hukumnya bagi setiap orang, selain Nabi Muhammad menikahi lebih
dari istri empat pada waktu tertentu.[9]
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang
terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan
pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan
dan situasi apapun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin,
hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyah. Islam pada
dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya
poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang
istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi Islam
tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana
yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya
laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat
demikian karena tidak semua mempunyai kemampuan untuk berpoligami.[10]
Berpoligami di
Indonesia mengikuti UU perkawinan no. 1/1974 bisa dilakukan setelah mencukupi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Untuk kelancaran
pelaksanaan UU no. 1/1974 itu, tela dikeluarkan PP no. 9 tahun 1975 yang
mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan UU tersebut. Dalam hal suami yang
bermaksud beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Pengadilan Agama. Pegawai pencatat perkawinan dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum, adanya izin dari pengadilan.
Masalah poligami
ini disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI Inpres no. 1 th. 1991) pasal
55:
1.
Beristri
lebih dari seorang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat istri.
2.
Syarat
utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya.
3.
Apabila
syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenui, suami
dilarang beristri lebih dari seorang.
Selanjutnya pada
pasal 56 disebutkan:
1.
Suami yang
hendak beristri lebi dari satu orang, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
2.
Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian pasal 57 disebutkan, Pengadilan Agama hanya
memberi izin kepada seorang suami yang akan lebih beristri dari seorang,
apabila:
1.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.
Istri yang
tidak dapat melahirkan keturunan.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Poligami
adalah seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang wanita. sedangkan
monogami adalah perkawinan dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan saja.
2.
Tujuan poligami adalah membangun tatanan
hidup masyarakat secara adil, sejahtera, dan bermoral, melalui kepedulian dan
perhatian kepada sebagian kelompok masyarakat yang kesulitan dalam mengurus
rumah tangga dan mengayomi anak-anaknya.
3.
Sisi
positif poligami: Memberi kesempatan bagi laki-laki memperoleh keturunan,
menghindarkan laki-laki dari perbuatan zina, memberi kesempatan bagi perempuan
yang terlantar, memberinya nafkah hidup serta melayani kebutuhan biologisnya,
menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan peperangan. Sisi
negative poligami adalah dapat merusak hubungan rumah tangga.Islam membolehkan poligami dengan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dan tidak sampai melebihi batas menikahi 4
istri.
[1] Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 49-50.
[2] Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer (Jakarta:
Kencana, 2016), 61.
[3] Rodli
Makmun, Poligami Dalam Tafsir Muhammad
Syuhkur, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), 47-48.
[4] Mahjuddin,
Masailul Fiqhiyah, 51-52.
[5] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor:
Kencana, 2003), 131.
[6] Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah, 52.
[7] Abdur Rahman, Perkawinan
Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 47-48.
[8] Abdur Rahman, Perkawinan
Dalam Syariat Islam, 48.
[9] Ibid., 50.
[10] Tihami, Sohari Sahrani, Fikh Munakahat:Kajian
Fiqh Nikah Lengkap. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), 358.
[11] Ajat Sudrajat, Fikih Actual Membahas
Problematika Hukum Islam Kontemporer (Ponorogo: Stain Po Press, 2008)
63-65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar