KONSEP UMUM MASAIL FIQHIYYAH AL-HADISAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat,
baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, pangan,
kesehatan, dan sebagainya seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut
hukum. Dalam keadaan yang dimikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu
yang dinamakan ilmu Masail Al-fiqhiyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam
ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal demikian
yang terjadi, karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah pula
bermunculan berbagai jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan
dan sistem pemecahan yang digunakan berbeda-beda.
Studi yang menyangkut berbagai masalah
Fiqhiyah tersebut berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai
akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal
yang dulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari
segi hukum.
Ajaran agama Islam sangat sesuai
dengan perkembangan zaman. Untuk itu perlu adanya upaya untuk
mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks kekinian dan kemodernan,
agar nilai-nilai Islam secara efektif sejalan dengan perkembangan dan kemajuan
dunia modern. Oleh karena itu, kajian fiqih Islam mengenai berbagai persoalan (masail
fiqhiyyah) yang dihadapi oleh masyarakat modern merupakan kajian yang
menarik dan aktual.
Oleh karena itu, dalam makalah ini
kami akan membahas tentang pengertian, ruang lingkup masail fikih, sebab-sebab
terjadinya masalah, dan solusi terhadap masalah yang ada.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Masail Fiqhiyyah?
2.
Apa ruang lingkup Masail Fiqhiyyah?
3.
Apa sebab-sebab terjadinya masalah?
4.
Bagaimana solusi terhadap permasalan yang terjadinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Masail Fiqhiyyah
Masail merupakan jama’ taksir dalam
bahasa arab dari kata masalah, yang artinya perkara (persoalan). Sedangkan
fiqih artinya pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum Islam. Jadi,
rangkaian kata Masail Al-Fiqh, berarti persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi
oleh umat Islam, sehingga mereka beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari
selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Islam.
Kajian Masail Fiqh, sering tidak
hanya membahas persoalan fiqh (hukum Islam), tetapi sering juga membahas
persoalan aqidah (kepercayaan) dan persoalan akhlaq (moral), maka disebut juga
dengan Masailu al-Diniyyah al-Hadithah, Masailu al-Diniyyah al-‘asriyyah, dan
Masailu al-Diniyyah al-Waqi’iyyah.
Ormas NU lebih sering menyebutnya Bahthu
al-Masail (pembahasan masalah keagamaan), yang kegiatannya ini ditangani
oleh suatu lajnah (lembaga) dibawah kepengurusan NU.[1]
B.
Ruang Lingkup Masail Fiqhiyyah
Hukum Islam terkandung di dalamnya
sasaran yang pasti, yaitu mewujudkan kemaslahatan. Adapun ruang lingkup
pembahasan masail fiqiyyah adalah :
1.
Hubungan manusia dengan Allah
Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah, yaitu ibadah mahdzah dan ghairu
mahdzah. Ibadah mahdzah adalah ibadah yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia
yang murni mencerminkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta yaitu Allah.
Sedangkan ibadah ghairu mahdzah adalah ibadah yang mengatur perbuatan antar
manusia itu sendiri serta manusia dengan lingkungannya.
Contoh masail fikih yang berhubungan dengan ibadah yaitu hukum
fiqih menyingkapi tentang sholat jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud
al-jum’at). Faktor pemicu terjadinya ta’adud al jum’at yaitu sangat luas
pemahamannya apabila kita dalami satu persatu. Hanya saja syariat mempermudah
kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih focus dengan mengembalikan
kepada batasan “urf (tradisi mayoritas masyarakat)
yang ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah sampai pada
tingkat kesulitan yang di luar batas kemampuan. Artinya semisal konflik
masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar pihak sulit
berkumpul hingga pada taraf hamper mustahil atau semisal kapasitas tempat
sholat yang terbatas dan tidak memungkinkan menampung seluruh masyarakat di
daerah tersebut, disitulah ta’adud al jum’at diperbolehkan.[2]
2.
Hubungan manusia dengan sesame manusia
Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia
dengan sesama manusia, yaitu mendonorkan organ tubuh.
Pendapat pertama mengatakan bahwa transplantasi seperti itu hukumnya haram. Meskipun pendonoran tersebut untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah
sampai dalam
kondisi darurat.
Kelompok kedua berpendapat bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh)
namun memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah : adanya kerelaan
dari si pendonor, kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ
yang didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan kelangsungan
hidup seperti jantung dan paru-paru serta merupakan jalan terakhir yang
memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut.
Dari fatwa
Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain
yang lebih baik, maka pengambilan organ tubuh orang yang sudah meninggal untuk
kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan
syarat ada izin dari yang bersangkutan dan izin dari keluarga atau ahli waris.
3.
Hubungan
manusia dengan dirinya sendiri
Contoh masail fiqhiyyah yang
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu tentang hukum rebonding.
Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih
indah.
Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan
Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. Dalil
keharamannya adalah keumuman firman Allah
Artinya
: “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] :
119).
Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang
mengubah struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan
perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya
boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi termasuk tazayyun
(berhias) yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh
ditampakkan kepada yang bukan mahrom.
4.
Hubungan
manusia denga alam sekitarnya
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku
arif terhadap alam. Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan
lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin
merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman yang serius. Fiqh Islam pun tumpul, Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada
perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang
secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan.
Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan
ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan
lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional
dalam khazanah islam klasik. Karena itulah, merumuskan
sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, yaitu sebuah fiqh yang
menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim
berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan
lingkungan.[3]
C.
Sebab-sebab Terjadinya Masalah
Berikut ini adalah beberapa sebab penyebab munculnya masailul
fiqhiyah:
Ulama’ berbeda-beda di da;am memahami makna-makna lafad dalam
bahasa arab yang sifatnya mujmal/musytarak, ragu umum atau khusus, dan ragu
mana yang hakiki atau maknawi.
Perbedaan cara meriwayatkan suatu hadis. Hal ini disebabkan karena:
1.
Perbedaan
rujukan atau sumber
2.
Perbedaan menetapkan
kaidah-kaidah ushul
3.
Perbedaan dalam
menanggapi adanya pertentangan antara dalil atau cara mentarjihnya.
Di dalam sumber
lain disebutkan bahwa, sebab-sebab penyebab munculnya masailul fiqhiyah adalah
sebagai berikut:
1.
Kondisi
Geografis
Setiap daerah
di bumi ini pasti memiliki kondisi geografis yang berbeda. Perbedaan kondisi
inilah yang akan memunculkan masalah yang berbeda-beda pula terutama fiqih.
Contohnya, pada kondisi daerah yang abnormal, persoalah yang muncul dari
keadaan dan letak geografis itu antara lain:
a.
Hukum
bertayamum pada daerah yang kekeringan (tandus) yang kesulitan air
b.
Hukum atau
teknik pelaksanaan sholat dan puasa pada geografis yang abnormal dalam hal
penentuan waktu.[4]
2.
Struktur dan
pola budaya masyarakat
Di dalam masyarakat yang sangat
kental dengan nilai-nilai kebudayaan sangat sulit ditetapkan nilai-nilai agama
terutama sudut fiqhiyahnya. Beberapa contoh dalam masalah ini antara lain:
a.
Upacara sesajen
untuk keselamatan dan berkah
b.
Upacara
dangdutan yang dipaksakan demi kehormatan sampai-sampai menghutang untuk
resepsi pernikahan
c.
Budaya tukar
cincin sebelum khitbah (lamaran) yang dianggap telah sah bergaul bebas.[5]
3.
Perkembangan
teknologi
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern selalu aktif menuju sasaran tepat dan
berdampak positif dan negatif.
4.
Perkembangan
ekonomi dan politik
a.
Jual beli
valuta asing dan saham
b.
Zakat sebagai
ibadah dan kaitannya dengan ekonomi keuangan wajib dikeluarkan apabila telah
mencapai nisab
c.
Pemimpin
wanita, hakim wanita, dan keberadaan partai-partai politik, serta yang terkait
dengan itu adalah dampak dari perkembangan ekonomi.
d.
Pencangkokan
dan penggantian jaringan atau organ tubuh
e.
Perencanaan
keturunan dengan berbagai teknik.
Sedangkan untuk faktor penyebab masalah fiqih diantaranya adalah:
1.
Perbedaan qira’at,
yaitu perbedaan tentang arti dari kata disetiap ayat yang berbeda.
2.
Adam al-Ittila
ala al-Hadits: adanya hadis yang belum ditelaah oleh sebagian sahabat karena
secara real pengetahuan mereka dalam hal ini tidak sama.
3.
Adanya syak
atau keraguan dalam menetapkan hadis: setiap ada hadis atau riwayat yang
datang, tidak langsung dapat diamalkan begitu saja sebelum dipersaksikan di
depan para sahabat lain agar menjaga otentisitasnya dapat dipertanggung
jawabkan bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah SAW.
4.
Perbedaan dalam
memahami nash dan penafsirannya.
5.
Adanya lafad
musytarak: yaitu lafad yang memiliki dua makna atau lebih.
Ta’arud al-adillah: adanya
dalil-dalil yang secara lahiriyah kontradiktif. Sesungguhnya dalil-dalil yang
dijadikan landasan para ulama dalam menyelesaikan suatu kasus bersumber dari
Al-Qur’an dan hadis, hanya saja karena sudut pandang mereka berbeda sampai
dengan perbedaan latar belakang.[6]
D.
Solusi Terhadap Permasalahan Yang Terjadi
Masalah
keagamaan yang aktual, lebih banyak menggunakan metode ijtihad daripada metode
istinbat. Metode ijtihad yang dimaksudkan dalam pembahasan ini yaitu
masalah-masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nash, sedangkan dihadapi dan
dilakukan oleh umat Islam, karena sangat dibutuhkan dalam kelangsungan
hidupnya. Sedangkan metode istinbat adalah upaya maksimal untuk menarik suatu
ketentuan hukum dari nash yang ada, baik nash Al-Qur’an maupun hadis.
Tampaknya
pembahasan masail fiqhiyyah lebih banyak menggunakan metode ijtihad daripada
metode istinbat, karena kebanyakan masalahnya tidak ditemukan ketentuannya
dalam nash.
Sebenarnya produk fiqh klasik juga banyak yang bersumber dari produk
penalaran intelektual (upaya rasional para ulama) berdasarkan logika keilmuan.
Bahkan Imam Syafi’I sendiri sering menggunakan metode ijtihad dengan cara
menggunakan instrument istiqra’ (penelitian) dalam menentukan suatu ketetapan
hukum, misalnya ketika menentukan masa haid seorang wanita serta menentukan 1
Ramadhan dan 1 Syawal.
Dalam penentuan hukum yang
berdasarkan hasil ijtihad, ada beberapa rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar,
antara lain :
1.
Tidak boleh merusak ketentuan dasar yang berkaitan dengan aqidah
Islam.
2.
Tidak boleh mengurangi atau menghilangkan martabat manusia, lalu
disamakan dengan hewan.
3.
Tidak boleh mendahulukan kepentingan perorangan diatas kepentingan
umum.
4.
Tidak boleh mengutamakan hal-hal yang masih samar-samar
kemanfaatannya atas hal-hal yang sudah nyata kemanfaatannya.
5.
Tidak boleh melanggar ketentuan dasar akhlaqul karimah (moralitas
manusia).
Abdu al-Qadir Ahmad ‘Ata mengatakan,
bahwa pembahasan actual yang tidak ada nashnya, sekurang-kurangnya ada tiga
macam cara yang harus dilakukan ketika menentukan hukumnya dengan menggunakan
metode ijtihad, antara lain :
1.
Harus selalu menjaga dasar-dasar aqidah Islam.
2.
Harus menghindari dan menolak perbuatan sesat yang pernah dilakukan
oleh ahlu al-kitab atau orang-orang musyrik.
3.
Harus selalu mengutamakan kehidupan yang bermoral.
Yusuf Qardawi menambahkan satu lagi,
tentang ketentuan yang harus dijadikan pertimbangan ketika metode ijtihad
dilakukan dalam menentukan suatu hukum, yaitu selalu mencari kemudahan dari
kesulitan yang dialami manusia ketika hukum tersebut diterapkan.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Masail Al-Fiqh adalah persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi
oleh umat Islam, sehingga mereka beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari
selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Islam.
2.
Adapun ruang lingkup dari Masail Al-Fiqh, yaitu :
a.
Hubungan manusia dengan Allah.
b.
Hubungan manusia dengan manusia.
c.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
d.
Hubungan manusia dengan alam sekitar.
3.
Adapun sebab-sebab munculnya masail fiqih yaitu :
a.
Kondisi geografis.
b.
Struktur dan pola budaya masyarakat.
c.
Perkembangan teknologi.
d.
Perkembangan ekonomi dan politik.
4.
Adapun solusi terhadap masalah yang ada yaitu dapat menggunakan
metode ijtihad maupun metode istinbat. Akan tetapi pembahasan masail fiqhiyyah lebih banyak
menggunakan metode ijtihad daripada metode istinbat, karena kebanyakan
masalahnya tidak ditemukan ketentuannya dalam nash.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar