BEROBAT DAN LANDASAN PENGOBATAN DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam tidaklah
melarang umatnya untuk berobat ketika sakit. Allah SWT melalui Rasulullah SAW
telah memberikan lampu hijau kepada seorang muslim
untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Seperti dalam sebuah hadis riwayat
Muslim “Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan
penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Hal
ini menunjukkan setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat yang digunakan
tepat mengenai sumber penyakit, maka dengan izin Allah SWT penyakit tersebut
akan hilang dan orang yang sakit akan mendapatkan kesembuhan.
Benda/zat
yang suci dan diperbolehkan untuk berobat oleh syara’ bukan dari benda/zat yang
haram dan tidak diperbolehkan oleh syara’. Namun adakalanya ada beberapa
penyakit yang belum ditemukan obatnya sehingga dibuatlah beberapa obat
alternative yang menggunakan benda/zat yang diharamkan oleh syara’.
Berangkat
dari asumsi di atas maka pemakalah akan membahas makalah dengan judul “Berobat
Dengan Benda Haram” dengan harapan untuk menambah wawasan kita sebagai umat
Muslim tentang pengobatan-pengobatan dalam Islam dan bagaimana hukum berobat
dengan benda/zat haram tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian berobat dan landasan pengobatan dalam Islam?
2.
Apa saja jenis-jenis benda yang diaharamkan dalam Islam?
3.
Bagaimana pemetaan kondisi darurat melalui Kaidah Fiqhiyyah?
4.
Apa landasan hukum berobat dengan benda haram?
BAB II
BEROBAT DENGAN BENDA
HARAM
A. Pengertian Berobat dan Landasan Pengobatan
dalam Islam
Dalam bahasa arab, usaha
untuk mendapatkan kesembuhan biasa disebut dengan istilah At-Tadawi yang
artinya menggunakan obat, diambil dari akar kata dawa (mufrad) yang
bentuk jamaknya adalah Adwiyah. Kalimat dawa yang biasa
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti obat adalah segala yang
digunakan oleh manusia untuk menghilangkan penyakit yang mereka derita. Kalimat Tadawi atau berobat adalah “menggunakan sesuatu
untuk penyembuhan penyakit dengan izin Allah SWT. baik pengobatan tersebut bersifat jasmani ataupun alternatif. Jadi
pengobatan adalah upaya manusia untuk memulihkan kesehatannya dari gangguan
penyakit tertentu.[1]
Para ahli fikih dari
berbagai mazhab; yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan ulama mazhab
hambali sepakat tentang bolehnya seseorang mengobati penyakit yang dideritanya.
Pendapat para ulama tersebut didasari oleh banyaknya dalil yang menunjukkan kebolehan
mengobati penyakit. Di antara dalil-dalil tersebut adalah: Pertama, diriwayatkan
oleh Imam Muslim: [2]
عن جابر بن عبد الله لِكُلِّ
دَاءٍ , دَوَاءٌ فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاء, الدَّاء برَأ بِإِذْنِ اللهِ عَزّ وَجَلَّ
Artinya:“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat
sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa
Ta’ala.” (HR. Muslim).[3]
|
Artinya:“Aku pernah
berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah
serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami
berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan
meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa
itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata
bahwa hadits ini hasan shahih).
Hadits di atas
menunjukkan bahwa setiap penyakit ada obatnya terkecuali penyakit tua.
Rasulullah Saw. menganggap tua sebagai penyakit. Sebab penyakit tersebut
merusak kondisi si sakit, sebagaimana penyakit-penyakit lain yang biasanya
mengakibatkan seseorang meninggal atau berat dalam menjalani hidup. Ketiga, hadits
riwayat Abu Daud:
عَنْ أَبِي الدَّرَاءِ قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللَهِ صَلَى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: إِنَّ اللَهَ أَنّْزَلَ الدَّاءَ
وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَّ لِكُلِّ دَاءٍ ودَاءً
فَتَدَّاوَوْا وَلَا تَدَّاوَوْا بِحَرَّام
Artinya:“ Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya,
demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka
berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menunjukkah
bahwa seorang Muslim boleh mengobati penyakitnya. Sebab, diturunkannya penyakit
oleh Allah SWT.disertai dengan diturunkan obatnya menunjukkan bahwa seorang
Muslim diizinkan untuk mengobati penyakit yang dideritanya.[5]
B. Jenis-jenis Benda yang Diharamkan dalam Islam
1.
Berobat dengan babi.
Allah SWT.berfirman “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (Al Maidah :3). Ayat
ini menunjukan bahwa babi secara dzatnya adalah najis dan seluruh badanya
adalah najis, sedangkan setiap yang najis adalah haram serta harus di jauhi.
Abu Muhamad mengatakan :
tidak di halalkan memakan sesuatu apapun dari babi. Baik dagingnya, lemak,
kulit, urat, ingus, tulang, kepala,baian-bagian tertentu maupun rambutnya.
Adapun babi ia lebih hina daripada anjing. Akan tetapi anjing dan babi keduanya
adalah hewan yang statusnya najis mughaladhah sehingga wajib untuk mencucinya
tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Bila anjing di perboelhkan untuk
keperluan berburu atau menjaga ladang maka babi tidak dipebolehkan
memeliharanya sama sekali karena seluruh badanya adalah najis, oleh kerena itu
Allah mengharamkan untuk memakan babi. Dalam Qaidah ushul fiqih dikatakan : “setiap
yang haram untuk mengambilnya maka haram pula untuk memberikanya. Dan setiap
yang haram untuk memakainya maka haram pula untuk mengambilnya."[6]
2.
Berobat dengan bangkai
Bangkai adalah setiap
yang hilang nyawanya tanpa di sembelih secara syar'I baik ia mati karena mati
dengan sendirinya tanpa sebab anak adam atau karena perbuatan manusia, jika hal
itu disebabkan karna di sembelih dengan cara yang tidak di perbolehkan maka
semua itu adalah bangkai. Haramnya bangkai adalah hukum Allah yang sudah pasti
berdasarkan ilmu dan hikmah, dan yang memperbolehkanya adalah hukum jahiliyah
yang berdasarkan hawa nafsu.
Dalam hukum bangkai hanya
ada dua macam yang di kecualikan, yaitu bangkai binatang laut dan belalang.
Maka kebanyakan Ahli ilmu mereka memperbolehkan untuk memakan binatang laut
baik yang masih hidup maupun yang telah mati, demikianlah pendapat imam Malik.
Dalam kaidah ushul fiqih
dikatakan : "Apabila suatu perkara telah menjadi sempit maka ia menjadi
lapang. Dan apabila sesuatu itu telah menjadi lapang maka ia berubah menjadi
sempit ", dua kaidah ini menjelaskan bahwa apabila telah sampai
derajat darurat maka setiap yang haram berubah mejadi halal dan apabila ia
telah lapang maka sesuatu tersebut berubah menjadi haram kembali.[7]
3.
Berobat dengan khamr
Khamr adalah nama untuk
setiap air dari anggur apabila telah mendidih dan mengental serta buihnya mulai
menghilang, demikinlah yang dikatakan oleh Abu Hanifah. Sedangkan menurut Abu
Yusuf dan Muhamad, ia adalah air anggur yang telah mendidih dan mengental,
terkadang ia berubah menjadi merah. Madzhab Hanifiyah, Malikiyah dan Hanabilah
berpendapat tidak diperbolehkanya meminum khamr untuk di jadikan sebagai obat.
Baik kahmr itu masih murni atau sudah di campur.
Sedangkan madzhab syafi'I
yang juga mejadi pegangan imam At-Thabari bahwa diperbolehkanya berobat dengan
khamr apabila memenuhi tiga syarat :
a. Berdasarkan riset dokter.
b. Kadar khamr tersebut lebih sedikit dengan
ukuran tidak sampai memabukan dan tidak menghilangkan akal. Sehingga tidak di
perbolehkan berobat dengan sesuatu yang lebih besar dari pada itu.
c. Berdasarkan keterangan dokter muslim karena
selain muslim tidak di terima kesaksianya dalam hal kedokteran.
Adapun sesuatu yang dapat
menghilangkan akal selain minuman atau ganja maka tidak ada had bagi orang yang
mengkonsumsinya. Sedangkan Imam Al Ghazali mengatakan : orang yang wajib untuk
di ta'zir dan di asingkan tanpa harus didera.[8]
4.
Berobat dengan sihir
Sihir secara bahasa
adalah setiap yang lembut caranya tapi mengena.Sedangkan secara istilah Imam As
sangkiti mengatakan bahwa ia tidak bisa di batasi karna banyaknya cara yang di
lakukan secara sembunya-sembuyi.
Rasulullah Saw. bersabda
:“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau tukang sihir atau dukun
kemudian ia menanyakan tentang sesuatu, lalu ia membenarkan apa yang ia katakan
maka ia telah kafir dengan apa yang di turunkan kepada Muhammad.” (HR : Al
Baihaqi dan Al Bazzar dengan sanad jayyid). Maka barangsiapa yang melakukan
sihir dalam berobat maka hal ini menunjukan bahwa ia meminta bantuan kepada
jin, dan mempraktekan ilmu-ilmu ghaib. Padahal hal itu telah di haramkan Allah
swt. Rasulullah juga pernah bersabda : “Barangsiapa yang mendatangi tukang
ramal dan ia menanyakan sesutu kepadanya, maka tidak di terima shalatnya selama
empat puluh malam”. (HR : Muslim ).[9]
5.
Berobat dengan sutra
Diriwayatkan dari Qatadah
bahwa orang-orang membicarakan bahwa Nabi saw. memberikan keringanan kepada
Abdurrahman bi Auf dan Zubair dalam memakai gamis yang terbuat dari sutra
karena di sebabkan gatal yang keduanya derita.
Pada hadist di atas terdapat dua pelajaran, yaitu:
a. Hukum fiqih, yaitu bahwa nabi memperbolehkan
sutra bagi laki-laki secara mutlaq dan mengharamkan kepada laki-laki kecuali
untuk kemasalahatan atau kebutuhan yang sangat mendesak. Seperti karena sangat
dingin, sutra yang di pakai orang yang sedang sakit gatal atau kutu.
b. Dari sisi pengobatan, sutra adalah salah satu
obat yang bahan bakunya dari hewan. Oleh karena itu ia memiliki banyak manfaat
dalam mengobati berbagai macam penyakit. Selain itu bila pakain dari kapas ia
bersifat dingin dan lembab dan pakaian dari wol bersifat panas, maka pakain
yang terbuat dari sutra memiliki sifat lebih lembut dan hangat daripada kapas.[10]
6.
Berobat dengan sesuatu yang berbahaya
Dalam hal ini sering kita
dapatkan macam obat-obatan yang menggunakan sesuatu yang berbahaya seperti
Alkohol, angin panas, barang najis atau yang lainya dari hal-hal yang di
haramkan oleh syari'at baik yang bentuknya cair atau tablet, padalah itu semua
sangat di butuhkan dalam pengobatan.
a. Apabila tidak di dapatkan ganti (obat lain
yang halal). Apabila tidak di dapatkan obat yang lain kecuali obat tersebut
maka boleh untuk menggunakanya, dengan melihat pada bahaya sakit tersebut.
b. Apabila di dapatkan pengganti dari obat
tersebut atau belum sampai derajat darurat. Maka dalam keadaan seperti ini
perlu di deteksi kembali, apabila bahan yang haram tersebut sudah larut atau
hencur bersama bahan yang lain dan tidak ada bekas yang ditimbulkanya baik rasa
maupun baunya maka obat ini dapat di gunakan/dikonsumsi.
Dari sini dapat di
simpulakan, bahwa menurut para ulama bahwa apabila najis atau sesuatu yang
menjijikan serta seluruh barang haram seprti Alkohol atau lainya apabila
bercampur dengan obat-obat yang diperbolehkan atau dimasak bersama obat yang
halal kemudian bahan yang haram atau najis ini hancur dengan tidak meninggalkan
bekas, rasa maupun baunya, maka dalam keadaan ini ia sama seperti obat yang
diperbolehkan lainya.
Namun jika tidak dapat
hancur atau masih ia lebih dominan daripada obat yang diperboehkan maka ia
menjadi obat yang haram, ia hanya dapat di gunakan apabila sudah dalam keadaan
darurat.[11]
C. Pemetaan Kondisi Darurat melalui Kaidah Fiqhiyyah
Kaidah yang dimaksud
dalam pembahasan di sini adalah kaidah umum di mana sandaran dari kaidah-kaidah
tersebut adalah ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Pada dasarnya kaidah
ini mencakup banyak cabang dan masalah dari pokok-pokok bahasan fikih (abwab
al-fiqhiyyah) yang berbeda, seperti jual beli, hibah, sewa menyewa, dan mudharabah.
Para ulama sendiri
berbeda dalam merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah ini, misalnya mazhab
Hanafiy membuat rumusan sebanyak 17 kaidah, sedangkan mazhab Syafi’i
hanya merumuskan 5 kaidah saja. Perlu untuk diperhatikan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyyah
ini hanyalah merupakan prinsip-prinsip yang di dalamnya terkandung
seperangkat ketetapan-ketetapan hukum syarak, dalam arti penerapan
kaidah-kaidah ini bersifat aglabiyah (sebagian besar dapat diterapkan),
tidak memiliki sifat menyeluruh (universal). Sehingga kaidah-kaidah
syarak tersebut bukanlah undang-undang yang berlaku umum dan menyeluruh
mencakup segenap peristiwa dan keadaan. Sebab di antara ciri khas kaidah
tersebut adalah bersifat umum semata, menyeluruh berlaku untuk setiap pribadi
dan peristiwa hukum yang memenuhi syarat dan sifat yang wajib ada dalam
menerapkan kaidah hukum.[12]
Di antara faktor yang
membuat kaidah-kaidah fikih bersifat aglabiyah adalah karena adanya
darurat. Para ulama telah menetapkan bahwa kaidah-kaidah fikih dikecualikan
pada masalah-masalah yang mengandung darurat, mengingat adanya arti yang
penting dan khusus yang dimlikinya. Kaitannya dengan kaidah darurat ini,
al-Zuhailiy menganggap bahwa kaidah darurat yang dianggap penting ada 8:
1. المشقة تجلب التيسير (kesulitan itu menarik
kemudahan)
Kaidah ini memberi
penjelasan bahwa kesulitan itu menjadi sebab bagi kemudahan, dan mengharuskan
adanya toleransi di waktu kesempitan. Berdasarkan ini, maka yang dimaksud
kesulitan (masyaqqah) di sini adalah kesulitan yang menghendaki adanya
keringanan dan di luar dari kebiasaan.
2. إذا ضاق الأمر اتسع (apabila timbul kesukaran
maka hukumnya menjadi lapang)
Pengertian kaidah
tersebut adalah bahwa terjadi masyaqqah, sedangkan orang yang merasa
sempit karena adanya ketetapan hukum syarak dalam keadaan biasa, maka mereka
dibenarkan mengambil rukh¡ah tak terikat dengan kaidah-kaidah umum yang
bersifat menyeluruh.
3. الضرورة تبيح المحظورات (darurat itu menghilangkan larangan)
Artinya keadaan-keadaan
darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak itu membuat seseorang boleh
mengerjakan yang terlarang dalam syarak.
4. الضرورة تقدر بقدرها (darurat itu dinilai
berdasarkan kadarnya)
Pengertian kaidah ini
adalah setiap hal yang dibolehkan karena darurat itu, baik itu berwujud
pelaksanaan perbuatan dan meninggalkan perbuatan, maka semua itu dibolehkan
dalam batas untuk menghindari kemudaratan dan hal yang menyakitkan saja, tidak
lebih dari itu.
5. ما جاز لعذر يبطل بزواله (sesuatu yang dibolehkan
karena uzur akan menjadi batal setelah hilang masa darurat)
Kaedah ini dipraktekkan
ketika menghadapi darurat, dan sesuatu yang dilakukan setelah masa darurat.[13]
6. الإضطرار لا يبطل حق الغير (keadaan terpaksa tidak
dapat membatalkan hak orang lain)
Sekalipun keadaan
terpaksa itu merupakan salah satu sebab dibolehkannya melakukan perbuatan yang
dilarang, seperti dibolehkannya memakan bangkai, darah, meminum khamar, tetapi
tidak menggugurkan hak orang lain secara materi.
7. الميسور لايقسط بالمعسور (kemudahan itu tidak
hilang karena kesukaran)
Maksudnya ialah bahwa
sesuatu yang diperintahkan, tetapi tidak dapat dikerjakan secara sempurna
sesuai dengan perintah kecuali sebagiannya saja, maka kewajiban itu jatuh pada
sebagian yang dapat dilakukan itu, dan tidak dapat ditinggalkan karena
ditinggalkannya yang sulit.
8. الحاجة العامة والخاصة
تنزل منزلة الضرورة (kebutuhan umum atau khusus menduduki posisi darurat)
Kebutuhan vital yang
bersifat umum ataupun khusus, mempunyai pengaruh dalam perubahan ketetapan
hukum, sebagaimana halnya darurat. Meskipun demikian darurat lebih kuat
daripada kebutuhan dalam menyebabkan perubahan hukum asal, karena darurat
merupakan suatu keadaan yang jika dilawan akan berakibat bahaya dan kemudaratan
bagi keselamatan jiwa dan yang lainnya.[14]
D. Landasan Hukum Berobat dengan Benda Haram
عَنْ أَنَّسِ بْنِ مَالِك قَالَ:
قَدِّمَ أُنَّاسٌ مِنْ عُكْلّ أَوْ عُرَّيْنَّةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِّينَّةَ فَأَمَرَّهُمْ
النَّبِيُ صَلَى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ بِلِقَاح وَأَنّْ يَشْرَّبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا
وَأَلْبَانِّهَا
Artinya:“Dari Sahabat Anas bin Malik RA: Sekelompok orang ‘Ukl atau
Urainah datang ke kota Madinah dan tidak cocok dengan udaranya (sehingga mereka
jatuh sakit), maka Nabi SAW memerintahkan agar mereka mencari unta perah dan
(agar mereka) meminum air kencing dan susu unta tersebut”. (HR.
al-Bukhari).[15]
Pendapat Imam Al-‘Izz
ibn‘Abd Al-Salam dalam Kitab “Qawa’id Al-Ahkam”
جاز التدّاوي بالنّجاسات إذا
لم يجدّ طاهرّا مقامها ، لأنّ مصّلحة العافية والسلامة أكملّ من مصّلحة اجتنّاب النّجاسة
Artinya:“Boleh berobat dengan benda- benda najis jika belum menemukan
benda suci yang dapat menggantikannya, karena mashlahat kesehatan dan
keselematan lebih diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda najis”
Pendapat Imam al-Nawawi
dalam Kitab Al-Majmu’ (9/55) :
قال أصحابنّا : وإنّما يجوز
التدّاوي بالنّجاسة إذا لم يجدّ طاهرّا يقوم مقامها ، فإنّ وجدّه حرّمت لنّجاسات بلا
خلاف ، وعليه يحملّ حدّيث: إنّ الله لم يجعلّ شفاءكم فيما حرّم عليكم , هو حرّام عنّدّ
وجوٍ غيرّه ، وليس حرّاما إذا لم يجدّ غيرّه . قال أصحابنّا : وإنّما يجوز إذا كانّ المتدّاوي عارفا بالطب ، يعرّف أنّه لا يقـوم غيرّ
هذا مقامه ، أو أخـبرّ بذلك طبيب مسلم
Artinya:“Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat : Sesungguhnya
berobat dengan menggunakan bendanajis dibolehkan apabila belum menemukan benda
suci yang dapat menggantikannya, apabila telah didapatkan - obat dengan benda
yang suci -maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah maksud
dari hadist “ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu
yang diharamkan atas kalian “, maka berobat dengan benda najis menjadi haram
apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak haram apabila
belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat sahabat kami (Pengikut
Madzhab Syafi’i) berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila
para ahli kesehatan farmakologi menyatakan bahwa belum ada obat kecuali dengan
benda najis itu, atau obat dengan benda najis itu direkomendasikan oleh dokter muslim”.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tadawi atau berobat adalah “menggunakan sesuatu
untuk penyembuhan penyakit dengan izin Allah SWT. baik pengobatan tersebut bersifat jasmani ataupun alternatif. Hukum Berobat
berdasarkan beberapa hadis Rasulullah SAW. diperbolehkan karena bahwa setiap penyakit ada obatnya terkecuali penyakit tua.
Jenis-jenis benda yang diharamkan dalam islam ada 7, yaitu: Berobat dengan
babi, bangkai, khomr, sihir, sutra dan sesuatu yang berbahaya.
Para ulama telah menetapkan bahwa kaidah-kaidah fikih dikecualikan
pada masalah-masalah yang mengandung darurat, mengingat adanya arti yang
penting dan khusus yang dimlikinya. Kaitannya dengan kaidah darurat ini, Ibn
Nujaim menetapkannya menjadi 6 cabang kaidah, sedangkan al-Zuhailiy menganggap
bahwa kaidah darurat yang dianggap penting ada 8.
Landasan Hukum Berobat dengan Benda Haram terdpat dalam HR. Bukhori,
Pendapat Imam Al-‘Izz ibn‘Abd Al-Salam dalam Kitab “Qawa’id Al-Ahkam”, dan Pendapat
Imam al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ (9/55).
|
[1] Mahjudin, Masail Al-Fiqh
(Jakarta: Kalam Mulia:2016),105.
[4]Andi Muflih, Pengoatan Dalam
Islam (Makassa: UIN Alaudin: 2013), 80
[5] Muhammad
Utsman Syabir, Pengobatan Alternatif Dalam Islam, (Jakarta: Grafindo,
2005), Hal. 20.
[6] NH, Http://Maktabah-Jamilah.Blogspot.Co.Id/2010/04/Berobat-Dengan-Sesuatu-Yang-Haram.Html.
Diaks8es 15 Mei 2018
[7] Ibid.,
[8] Tim Pendamping Manajemen Islami RS
Islam Jemursari, Fiqih Medis RS Islam Jemursari (Surabaya: RS Islam
Jemursari, 2012), 145-147.
[9] NH, Http://Maktabah-Jamilah.Blogspot.Co.Id/2010/04/Berobat-Dengan-Sesuatu-Yang-Haram.Html.
Diakses 15 Mei 2018
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Michael Elkan,
Http://Www.Referensimakalah.Com/2012/06/Kaidah-Fikih-Tentang-Kondisi-Darurat.Html.
Diakses 10 Mei 2018.
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[16] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar